Minggu, 09 Februari 2014

"MAMPU" menurut tukang bakso....

kisah TELADAN 1
 


Semua Berawal Dari Seorang Tukang Baso....
Di suatu senja sepulang kantor, saya masih
berkesempatan untuk ngurus tanaman di depan
rumah, sambil memperhatikan beberapa anak
asuh yang sedang belajar menggambar peta,
juga mewarnai. Hujan rintik rintik selalu
menyertai di setiap sore di musim hujan ini.
Di kala tangan sedikit berlumuran tanah
kotor,...terdengar suara tek...tekk.. .tek...suara
tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka
keringat..., ku hentikan tukang bakso itu dan
memesan beberapa mangkok bakso setelah
menanyakan anak - anak, siapa yang mau
bakso ?
"Mauuuuuuuuu. ...", secara serempak dan
kompak anak - anak asuhku menjawab.
Selesai makan bakso, lalu saya
membayarnya. ...
Ada satu hal yang menggelitik fikiranku selama
ini ketika saya
membayarnya, si tukang bakso memisahkan
uang yang diterimanya. Yang satu disimpan
dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke
kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu aku
bertanya atas rasa penasaranku selama ini.
"Mang kalo boleh tahu, kenapa uang - uang itu
Mamang pisahkan? Barangkali ada tujuan ?" "Iya
pak, Mamang sudah memisahkan uang ini
selama jadi tukang bakso yang sudah
berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya
sederhana saja, Mamang hanya ingin
memisahkan mana yang menjadi hak Mamang,
mana yang menjadi hak orang lain / tempat
ibadah, dan mana yang menjadi hak cita â cita
penyempurnaan iman ".
"Maksudnya.. ...?", saya melanjutkan bertanya.
"Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan
kita agar bisa berbagi dengan sesama. Mamang
membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut :
1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk
memenuhi keperluan hidup sehari - hari Mamang
dan keluarga.
2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/
sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah
Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun
menjadi tukang bakso, Mamang selalu ikut
qurban seekor kambing, meskipun kambingnya
yang ukuran sedang saja.
3. Uang yang masuk ke kencleng, karena emang
ingin menyempurnakan agama yang Mamang
pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada
umatnya yang mampu, untuk melaksanakan
ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya
yang besar. Maka Mamang berdiskusi dengan
istri dan istri menyetujui bahwa di setiap
penghasilan harian hasil jualan bakso ini,
Mamang harus menyisihkan sebagian
penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya
Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2
tahun lagi Mamang dan istri akan melaksanakan
ibadah haji.
Hatiku sangat...... .....sangat tersentuh
mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah
jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan
mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih
baik dari si emang tukang bakso tersebut, belum
tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam
hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di
balik tidak mampu atau belum ada rejeki.
Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan,
sebagai berikut : "Iya memang bagus...,tapi kan
ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang
mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam
biaya....".
Ia menjawab, " Itulah sebabnya Pak. Emang
justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak
mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak
pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat
ataupun MUI.
Definisi "mampu" adalah sebuah definisi dimana
kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya
sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri
sebagai orang tidak mampu, maka mungkin
selamanya kita akan menjadi manusia tidak
mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri
sendiri, "mampu", maka Insya Allah dengan
segala kekuasaan dan kewenangannya Allah
akan memberi kemampuan pada kita".
"Masya Allah..., sebuah jawabannya elegan
sekali dari si Mamang "seorang tukang bakso"
KASKUSER YG BAIK

Tidak ada komentar :

Posting Komentar